Satu dekade silam, sebelum lokal brand merebak menjadi tren di negeri ini, kita masih menggandrungi clothing fashion.
Pelan-pelan, para kreator membuat label sendiri dengan karakteristik yang beragam, dengan sentuhan kreatifitas mengagumkan.
Di antara para pelopor label fashion lokal, hadir Ria Sarwono dan Carline Darjanto memberi warna baru dengan label fashion yang mereka beri nama COTTON INK. Siapa sangka, dengan modal awal Rp 500.000,- dari masing-masing kantong, hari ini, sebelas tahun kemudian, mereka berhasil meraih omset ratusan juta rupiah.
Brand mereka popular di jejaring daring dan telah membuka toko offline di beberapa mall terbesar di Jakarta. Simak bagaimana mereka merintis, bertahan di tengah pandemik, serta strategi yang digunakan supaya usahanya terus bertahan ke depan.
Memulai Dengan Jualan Kaus Presiden Barrack Obama
Pada tahun 2009, ketika presiden Barrack Obama dinobatkan sebagai presiden Amerika, Ria dan Carline adalah termasuk orang yang terpukau oleh reputasi dan kharismanya. Kekaguman itu mendorong mereka untuk membuat kaus dengan potret Obama sebanyak 24 pieces dan menjualnya di Facebook. Modal yang dibutuhkan saat itu adalah Rp 1.000.000, didapatkan Ria dan Carline dari orang tua masing-masing sebesar Rp 500.000,-. Tidak disangka, penjualan mereka disambut antusias oleh teman-temannya sehingga keduanya kembali memproduksi barang.
Setelah kaus, mereka mencoba membuat accessories berupa syal, yang bisa dibuat cardigan, sangat sempurna untuk digunakan saat nonton ke bioskop tapi malas menggunakan jaket. Atau sekadar pemanis penampilan. Mereka tidak tahu bahwa hasil produksi mereka bisa terjual dalam waktu singkat. Padahal, lini penjualan yang mereka pilih hanya seputar Facebook dan Blogspot, di mana orang-orang menggunakan medium tersebut untuk memposting foto Outfit Of The Day.
Melihat adanya peluang, mereka mulai mendaftarkan labelnya ke Brightspot Market, acara tahunan bergengsi yang melibatkan para pelaku kreatif tanah air. Dari sana, perjalanan Ria dan Carline terus menanjak. Hasil penjualan yang semula berkisar di angka lima juta melonjak hingga lima puluh juta. Keduanya kemudian memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan utama, Ria sebagai pengajar piano untuk anak-anak, sementara Carline berkecimpung di industri tekstil.
Mereka telah membuktikan bahwa keputusannya saat itu untuk berhenti dari pekerjaan dan fokus berbisnis merupakan keputusan yang tepat. Hingga kini mereka penjualan mereka sangat populer di kalangan pembeli daring. Bukan hanya itu, para pembeli offline juga memadati toko offline mereka yang tersebar di beberapa mall terbesar Jakarta, seperti Plaza Senayan, PIM, KOKAS dan Senayan City.
Komunikasi yang Baik Melanggengkan Hubungan
Ketika ditanya tantangan dalam mengembangkan COTTON INK, Ria dengan sigap menyebutkan bahwa ujian persahabatannya dengan Carline justru merupakan hal yang tidak diantisipasinya.
Tentu, permintaan pasar, kualitas produksi, serta beberapa hal teknis lainnya juga cukup menantang. Tetapi, persahabatannya dengan Carline diakui Ria hadir sebagai tantangan yang sangat personal. Tidak terhitung lagi berapa kali mereka beradu pendapat. Percekcokan lumayan serius yang membuat keduanya justru lebih memahami satu sama lain. Ria akui, meski saat itu Carline bersikap blak-blakan, apa yang disampaikan Carline juga sebetulnya membangun. Setelah itu, Carline juga meminta maaf apabila caranya menyampaikan sesuatu telah melukai Ria.
Hal-hal semacam itu kemudian menguji persahabatan sekaligus kekompakan mereka dalam berbisnis. Pada akhirnya, keduanya sadar, ketika setidaknya mereka masih memiliki satu sama lain, mereka akan baik-baik saja. Dari situ, Ria menyimpulkan, bahwa komunikasi adalah salah satu elemen terpenting dalam hamper semua relasi, tidak terkecuali relasi bisnis.
Bersama Carline, yang sangat teliti dalam urusan matematis, Ria mengambil fokus di bidang marketing. Mereka sama-sama mencari nyawa yang tepat untuk diembuskan pada COTTON INK. Mereka membuat konten Youtube, sampai majalah. Model-model yang mereka pilih tidak semuanya model professional berbadan ideal, melainkan model-model yang merepresentasikan ragam bentuh tubuh dan kecantikan. Tujuannya supaya customer mereka dapat merasa relate dengan pesan yang mereka bangun melalui COTTON INK.
“Ketika kita masih punya satu sama lain, setidaknya kita masih akan baik-baik saja.” - Ria Sarwono
Penolakan yang Berujung Berkah
Ria masih ingat bagaimana penolakan yang diterimanya dari kampus idaman kemudian memaksanya untuk selalu melakukan yang terbaik. Hari itu, ayahnya berpesan untuk melanjutkan kuliah, meski gagal diterima di kampus favorit. Dari situ, Ria bertekad untuk lebih serius membangun karirnya untuk masa depan. Ayahnya percaya bahwa perkuliahan mampu membuatnya lebih disiplin, hal tersebut kemudian disetujui oleh Ria dan dirasakan sendiri manfaatnya.
Kini, setelah bisnis yang dikelola oleh Ria berhasil berkibar di tanah air, meski tidak menunjukan pernyataan yang eksplisit, Ria dapat merasakan bahwa ayahnya merasa bangga terhadapnya. Apabila Ria tidak ditolak di kampus idaman saat itu, apakah sekarang Ria bisa sampai di sini? Tidak ada yang tahu.
Menghadapi masa kritis selama pandemik, Ria dan Carline telah menunda pembukaan toko terbaru mereka. Mereka juga memprioritaskan mana saja pengeluaran besar yang harus didahulukan, mana yang bisa dicicil. Prinsipnya, cash flow over profit. Mereka juga mengalihkan fokus penjualan mereka ke lini daring dan mengurangi jumlah produksi.
Tetapi, meski demikian, keduanya percaya bahwa banyak sekali hikmah yang bisa dipetik dari krisis ini, apabila kita bersedia merenungkan berkah-berkah sederhana yang kita terima.
Sementara itu, bagi teman-teman yang hendak memulai bisnis di bidang yang sama dengan Ria dan Carline, Ria mengingatkan bahwa memiliki rencana itu baik. Tetapi, mengaktualisasikan rencana tersebut jauh lebih baik. Kemudian, kita harus konsisten dengan rencana tersebut, supaya image kita di benak konsumen dikenal dengan kuat. Terakhir, kita harus bisa menghormati partner bisnis kita seperti teman seperjalanan; sebab kita akan selalu saling membutuhkan.
Sisanya, sebaiknya kita memanfaatkan perkembangan tekonologi semaksimal mungkin. Banyak hal bisa dimanfaatkan dalam Instagram, seperti polling, misalnya. Hingga saat ini, Ria dan Carline masih turun tangan untuk urusan konten, atau relasi dengan konsumen. Sebab mereka percaya, sejauh ini, hanya mereka berdua yang paling memahami identitas autentik dari COTTON INK.
Mereka juga masih mempelajari bagaimana budget periklanan sebaiknya dialokasikan, apakah sepenuhnya dialokasikan untuk lini daring, atau membuka store untuk konsumen offline? Hal-hal itu yang mereka pelajari selama berproses. Learning by doing itu lebih dari sekadar teori, tetapi memang benar terasa menfaatnya.
“Learning by doing itu lebih dari sekadar teori, tetapi memang benar terasa menfaatnya.”
Apabila Anda meruapakan salah satu pembaca yang memiliki keinginan untuk mengikuti jejak Ria dan Carline, jangan lupa untuk menjaga bisnis di industry fashion untuk tetap sustainable, ya. Ria dan Carline juga termasuk pekerja kreatif yang sangat memerhatikan prinsip tersebut. Sisanya, silakan mulai aktualisasikan rencana yang telah matang Anda persiapkan. Semoga beruntung.