Niat yang mulia seringkali menuntun kita menuju kesuksesan.
Sebab keberhasilan yang diraih bukan cuma memberikan manfaat bagi diri sendiri, melainkan juga keuntungan banyak pihak. Itu diyakini Muhammad Rizky Ramadhan, yang akrab dikenal dengan nama KIMO, ketika memulai bisnisnya pada usia awal dua puluhan.
Dengan menciptakan sekolah musik dengan biaya terjangkau, KIMO berharap para calon musisi dapat mendaftarkan diri mereka dan melunasi biayanya menggunakan uang sendiri. Bukan hanya itu, waktu pendidikan juga relatif kilat, yaitu hanya satu bulan. Hari ini, sekolah yang didirikan KIMO, Double Deer Academy, diikuti oleh ratusan pelajar dengan lulusan kualitas bermusik yang tidak perlu dipertanyakan.
Seniman yang Nggak Bisa Main Musik
Kimo mengaku enggak bisa main musik. Pas SMA, sempat dipaksa belajar piano sama ayahnya. KIMO bahkan sampai menjalani sekolah privat. Lagu yang direkomendasiin ayahnya adalah The Beatles, yang jelas-jelas bukan KIMO banget, deh, pikirnya saat itu. Sama sekali enggak cool. Akhirnya, KIMO enggak jago main piano, cuma paham basic-nya doang.
Tapi, keinginan bikin musik itu selalu ada. Masalahnya, KIMO bahkan enggak ngerti chord. Nihilnya pengetahuan dan pemahaman KIMO di bidang musik mendorong KIMO buat nemuin software yang bisa memproduksi musik. Beberapa di antaranya Fruity Loop dan Logic Pro. Bagi KIMO, bermusik itu kaya menggambar. Di Digital Audio Work Station, tersedia pedal, kick dan pilihan suara lainnya. Kita tinggal susun pola. Polanya itu yang kita ‘gambar’ jadi sebuah alunan. Kita cuma perlu sense untuk menilai kira-kira pola yang kita susun ini ngehasilin nada yang fals atau nggak.
Pengetahuan dasar serta kemampuan KIMO bermusik di ranah electronic music bikin dia menangin beasiswa dari SAE Institute Jakarta, di FX Sudirman. Setelah lulus, bingung juga KIMO mau ngapain. Jadi DJ? Saingan dan kompetisinya bikin KIMO males duluan. Kemudian, suatu hari dalam sebuah perjalanan, nggak sengaja KIMO nemuin salah satu distrik fashion, music dan karya seni lain yang mengadopsi gaya luar namanya ORBIS Store, di Panglima Polim. Distrik itu meginspirasi KIMO untuk membangun hal serupa, tapi KIMO belum yakin membangun apa.
Nggak jauh dari sana, ada sekolah musik yang ngajarin beragam alat musik namanya Farabi Music Education Institute. Melalui Farabi, dibuatlah sekolah musik oleh KIMO dengan nama Double Deer Academy. Bedanya, sekolah yang dibangun KIMO fokus ke musik digital. Kimo melihat banyak anak muda yang pengen belajar musik, tapi nggak mau ribet. Mereka pengen bisa main musik secara instan. Akhirnya, dalam waktu sebulan, KIMO yakin dia bisa mengajari muridnya bermain musik digital. Dengan total delapan pertemuan, dua pertemuan dalam satu minggu, mereka udah bisa lulus dari Double Deer Academy dengan kualitas.
Apakah Double Deer Academy dibangun KIMO dengan jalan mulus? Tentu saja nggak mudah. Keterbatasan modal KIMO saat itu membuatnya terpaksa ngajuin Kredit Tanpa Agunan sebesar Rp 32.000.000,- pada penawaran yang diterimanya melalui SMS. Dia gunakan Rp 25.000.000,- untuk membayar sewa bangunan selama setahun dan sisa Rp 7.000.000,- untuk peralatan yang diperlukannya.
Jumlah itu nggak bisa mencukupi semua yang dibutuhkan KIMO, hingga akhirnya setiap murid diwajibkan membawa fasilitas pribadi selama pembelajaran berlangsung. Nggak mampu membeli TV, layar yang digunakan oleh KIMO adalah imac screen berukuran sedang yang dimilikinya sejak lama. Iyas, rekan yang digandeng KIMO waktu itu bahkan perlu menjual Lambretta untuk melengkapi peralatan yang mereka butuhin.
Dalam kondisi serba terbatas, KIMO nekat memulai usaha tanpa pengetahuan bisnis sama sekali. KIMO belum kenal istilah ROI atau BEP yang sudah umum digunakan. Sebagai guru musik, ketidak mampuan KIMO dalam bermain musik justru menjadi nilai plus. Orang menilai hal tersebut sebagai keunikan tersendiri. Ketekunan saat itu membuat KIMO dan rekannya berhasil mengembalikan modal yang dikeluarkannya selama kurang dari setahun.
Niat yang baik akan membawa kita kepada keberhasilan yang bermanfaat buat banyak orang.
Pentingnya Melakukan Ekspansi Dalam Berbisnis
Double Deer Academy bukan satu-satunya bisnis yang diciptakan KIMO. Bisnis kedua yang dibikin KIMO dan tim adalah Audio Post Production. Di sana, mereka secara kreatif membuat jingle, soundtrack, voice over, atau kebutuhan lain yang masih berkaitan dengan musik. Klien mereka beragam; mulai dari bank sampai sekolah swasta.
Sempat menempuh cara door to door, KIMO bercerita sempat kesulitan mendapatkan klien untuk bisnis keduanya. Ketika berniat meng-approach perusahaan besar, KIMO disarankan untuk menghubungi masing-masing agensi perushaan tersebut. KIMO sempat terkejut saat tahu bahwa setiap perusahaan nggak cuma memiliki satu agensi. Agensi Out Of Home advertising suatu perushaan bisa berbeda dengan agensi untuk online advertising. Setelah bertanya ke sana ke mari, barulah KIMO paham bahwa jasa yang ditawarkan KIMO dapat dihubungkan ke perusahaan melalui director di agensi videografi.
Setelah bisnis kedua mulai berjalan, apakah KIMO merasa puas? Belum. KIMO terus memperluas bisnisnya, seperti membuat Double Deer Records sampai Double Deer Lab, sebuah metode peer to peer marketing, di mana KIMO mempertemukan komunitas-komunitas yang konsisten dan autentik di seluruh Indonesia dengan perusahaan yang memerlukan kontribusi dari komunitas tersebut. Kali ini, KIMO nggak cuma merambah komunitas musik. Komunitas motor sampai komunitas kuliner juga sempat dihubungi olehnya.
“Gue seneng melihat banyak hal tumbuh sesuai yang pada awalnya mereka impikan. Gue seneng bisa berada di tengah-tengah proses keberhasilan mereka,” papar KIMO dengan hangat. Kemuliaan itu bikin KIMO berhasil mengangkat komunitas-komunitas tersebut ke permukaan.
Saat ini, bisnis KIMO beragam. Mulai dari skin care yang digelutinya bersama sang istri sampai pengembangan produk baru untuk anak 0 tahun. Meski belum mau memberi bocoran soal bisnis terbarunya, KIMO bisa pastikan bahwa bisnisnya kali ini juga punya peluang yang besar.
Salah Satu Pelajaran Terpenting Dalam Berbisnis Adalah Kompromi
Kimo membagikan beberapa kiat-kiat berbisnis yang mungkin bermanfaat bagi para pemula. Petama, kita harus percaya pada partner kita berbisnis. Sebagian partner senang terjun langsung menjalani bisnis sama-sama, sebagian lagi hanya memberikan dukungan finansial dan menantikan hasil. Apapun pilihan partner bisnis kita, saran KIMO, kita harus bisa memercayai mereka. Itulah kenapa pendekatan di awal sebelum memulai bisnis menjadi sangat penting,
Kedua, apabila keterbatasan finansial membuat kita terpaksa berhutang, kita bertanggung jawab penuh terhadap kondisi finansial kita. Jangan sampai hutang tersebut kemudian menghentikan perjalanan kita dalam berbisnis. Gagal itu wajar. Tetapi, kegagalan itu harus bisa ngajarin kita sesuatu yang enggak bakal kita ulang di masa mendatang. KIMO mengakui bahwa bisnisnya juga sempat mengalami defisit, namun nggak lama, dia berhasil memulihkannya kondisi finansialnya kembali.
Yang terakhir, lanjut KIMO lagi, adalah kompromi. Sampai hari ini, KIMO memberikan jatah libur bagi karyawan perempuannya yang datang sedang bulan khusus di hari pertama. Karena, KIMO merasa kesulitan berkompromi dengan perempuan apabila emosi mereka nggak stabil. Nggak cuma perempuan, sepanjang karir KIMO, kadang dia menemukan banyak orang dengan watak keras yang sulit sekali diajak kompromi. Tetapi, nggak pernah ada jalan lain. “Kompromi adalah salah satu hal yang betul-betul perlu kita pelajari kalau kita memutuskan untuk berbisnis.”
Dari perjuangan KIMO membangun bisnisnya, ada banyak hal yang bisa kita petik sebagai pelajaran. Sekali pun kita bukan musisi dan mungkin bidang bisnis kita bukan di industri musik. Kini, waktunya tentukan bisnismu dan mulai bangun value di dalam dirimu. Bagaimana reputasi yang kamu ingin orang lihat dari dirimu? Kamu yang tentukan. Pastikan kamu konsisten menjalaninya. Mengutip KIMO lagi, “jangan cuma demam jadi founder.”
Temukan artikel inspiratif dari profil lainnya hanya di KARENA.ID.