Seni adalah bagian yang tak bisa lepas dari hidup manusia. Seni hadir membawa keindahan, kedamaian, dan berbagai makna yang tersimpan di dalamnya. Oleh karena itu, banyak orang yang tertarik untuk mendalami dan mempelajari seni.
Di Indonesia, saat ini telah berkembang berbagai komunitas seni dengan kegiatan yang beragam. Ada yang murni sebagai wadah pengembangan seni tertentu, ada pula yang ditujukan untuk pemberdayaan kelompok tertentu.
Nah, apa saja komunitas tersebut? Simak selengkapnya dalam ulasan berikut.
Jatiwangi Art Factory
Komunitas seni tak selamanya tumbuh di kota-kota besar. Di perdesaan pun komunitas seni dapat berkembang, salah satunya adalah Jatiwangi Art Factory (JAF). Komunitas ini digagas oleh Arief Yudi Rahman pada September 2005 lalu. Ia menyulap bekas pabrik genting milik keluarganya menjadi ruang seni yang dinamai Jebor Hall. Ruang tersebut menjadi pusat kegiatan JAF yang berada di Kecamatan Jatiwangi, Majalengka.
JAF dikenal sebagai pusat kreasi berbagai produk dari tanah liat. Walau begitu, mereka juga aktif menyelenggarakan kegiatan lain, seperti Festival Residensi Jatiwangi, Festival Rampak Genteng, Forum 27-an, dan Pasar Bulanan. Di samping itu, pada 2018 lalu JAF meresmikan Museum Kebudayaan Tanah guna melestarikan aset kebudayaan yang terkait dengan tanah. Berdirinya JAF ini diharapkan mampu menjadi ruang kreatif seni budaya yang dapat memberdayakan masyarakat perdesaan dan menjadi solusi dari adanya konflik yang terkait dengan tanah.
Ruang Mes 56
Ruang MES 56 adalah komunitas seni di Yogyakarta yang berfokus kepada pengembangan seni berbasis fotografi. Didirikan pada 2002 lalu, komunitas ini digawangi oleh sekelompok pemuda yang sepakat menyatukan pemikiran mereka untuk pengembangan seni fotografi dan seni kontemporer yang beririsan dengan disiplin ilmu lain. Mereka bergerak dengan pendanaan mandiri dengan harapan mampu mewujudkan terciptanya masyarakat yang terbuka, kreatif, dan mandiri.
Para seniman dalam Ruang MES 56 bekerja secara kolektif dalam mengelola sebuah rumah yang digunakan sebagai studio kerja, kelas belajar, ruang bermain, sekaligus hunian. Di samping itu, Ruang MES 56 memfungsikan diri mereka sebagai laboratorium produksi dan diseminasi gagasan seni fotografi dan menitikberatkan kepada pendekatan yang bersifat eksploratif dan eksperimental.
Fat Velvet
Pada 2016 sekelompok perempuan di Kota Kembang yang menamai komunitas mereka, Fat Velvet, hadir dengan kepedulian terhadap isu perempuan, sosial, dan budaya. Pergerakan mereka berangkat dari pertanyaan tentang posisi perempuan dalam bidang kreatif. Para pendiri komunitas ini beranggapan bahwa berbagai masalah yang dialami perempuan sebenarnya tidak terletak pada ketidakmampuan untuk menjalankan peran dan mengaktualisasi diri. Mereka sepakat untuk menunjukkan sudut pandang baru melalui beraragam aksi sehingga ketidaksetaraan yang berkembang bisa dihapus.
Selama lima tahun eksistensinya, Fat Velvet telah membuat berbagai kegiatan bidang musik, visual art, crafting, usaha kreatif, dan literatur. Beberapa kreasi mereka pun telah dipamerkan di banyak acara, misalnya pertunjukan Ontologi Ken Dedes yang pernah ditampilkan di Galeri Indonesia Kaya.
Kolektif Hysteria
Minimnya ruang gerak bagi anak-anak muda Semarang pecinta seni membuat Adin dan kawan-kawan mendirikan Kolektif Hysteria pada 11 September 2004. Ini merupakan komunitas seni yang menaungi anak-anak muda Semarang dari berbagai bidang seni. Mereka aktif melakukan berbagai kegiatan, seperti pameran, pertunjukan, diskusi, pemutaran film, dan festival mengenai seni dan budaya.
Selama ini Kolektif Hysteria seringkali disebut sebagai laboratorium dan creative impact hub di Semarang. Hal itu merujuk kepada sebuah ruang yang melibatkan banyak jaringan, komunitas, dan bergerak di banyak bidang. Sementara, pemilihan kota sebagai tempat utama tak lain karena kota memiliki beragam isu kompleks yang tidak bisa didiamkan begitu saja. Berangkat dari pandangan itu, Kolektif Hysteria telah masuk ke kampung-kampung di Semarang, seperti Karangsari, Bustaman, Petemasan, Bergota, Sendangguwo, Jatiwayang, dan Randusari untuk menghidupkan eksistensi seni dan budaya.
Nan Tumpah
Nan Tumpah merupakan komunitas seni budaya yang berdiri di Padang pada 2010 silam. Komunitas yang didirikan oleh Mahatma Muhammad, Halvika Padma, dan Yosefintia Sinta, ini bergerak di bidang seni tradisi ataupun kontemporer. Kegiatan seni yang dilakukan pun tak terbatas pada satu bidang saja. Mereka bergerak di banyak area, seperti teater, randai, seni rupa, seni media baru, sastra/literasi, kajian seni budaya. Di samping itu, Nan Tumpah juga mengelola ruang baca masyarakat di daerah Padang Pariaman.
Dalam berbagai aktivitasnya tersebut, Nan Tumpah merancang program seni budaya yang berkelanjutan melalui seni pertunjukan, produksi album musikalisasi puisi, diskusi, pelatihan, pameran, dan penerbitan beberapa karya tulis serta buku sastra. Sejak berdiri, Nan Tumpah telah memproduksi 42 karya seni pertunjukan dan menyelenggarakan puluhan kegiatan pertunjukan di ruang publik melalui kerja sama dengan lintas komunitas atau instansi. Dari kiprahnya tersebut, Nan Tumpah tercatat sebagai komunitas seni terproduktif dalam menghasilkan karya seni pertunjukan di Sumatra Barat.
Itulah komunitas-komunitas di Indonesia yang telah berkembang dan berkontribusi bagi kemajuan seni dan budaya. Komunitas tersebut tidak hanya menjadi wadah pengembangan, tapi juga menjadi media untuk menyelesaikan konflik dan memberdayakan masyarakat di sekitar mereka.