Mengenal 5 Penulis Perempuan Indonesia yang Mendunia

Mengenal 5 Penulis Perempuan Indonesia yang Mendunia

Dunia sastra Indonesia sakan tak pernah padam. Satu per satu penulis terus melahirkan karya-karya fenomenal pada setiap zamannya. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Pulau Buru yang berhasil mengangkat isu penindasan dan stratifikasi sosial pada masa Kolonial. Dari berbagai karya yang dilahirkan, Pramoedya kemudian mendapatkan beragam penghargaan internasional, seperti gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan (1999), Fukuoka Cultural Grand Prize (2000), dan masih banyak lagi.

Di samping nama Pramoedya, ada sederet penulis Indonesia yang namanya juga mendunia. Penulis-penulis tersebut adalah sosok perempuan yang kadang kala masih ditempatkan di posisi inferioir dalam dunia sastra Tanah Air. Dari segi jumlah, memang menurut Ensiklopedia Sastra Indonesia, hanya ada 40 penulis perempuan dari total 246 sastrawan yang tercatat. Di samping itu, muncul asumsi bahwa isu yang diangkat penulis perempuan tak lebih serius daripada penulis laki-laki.

Melawan stigma tersebut, buktinya banyak penulis perempuan Indonesia yang berhasil melahirkan karya jenius. Bahkan, karya mereka telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa serta diganjar penghargaan internasional yang prestisius.

Siapa saja penulis perempuan itu? Simak dalam ulasan berikut. Mungkin salah satunya merupakan penulis favoritmu.

 

Nh. Dini

Nurhayati Sri Hardini atau yang lebih dikenal sebagai Nh. Dini merupakan salah satu penulis perempuan Indonesia yang namanya melegenda. Ia dikenal sebagai penulis yang produktif hingga akhir hayatnya. Penulis yang merupakan Angkatan 66 ini telah melahirkan sekitar 40 judul buku. Lima diantaranya, yakni Pada Sebuah Kapal (1972), Namaku Hiroko (1977), Orang-Orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), dan Hati yang Damai (1961), adalah karya yang paling populer.

Dilahirkan di Semarang pada 19 Februari 1936 lalu, bakat menulis Nh. Dini mulai tampak saat usianya menginjak sembilan tahun. Saat itu ia berhasil menulis karangan bertajuk Merdeka dan Merah Putih yang sempat mengusik Belanda.

Sejak terjang Nh. Dini di dunia sastra membuatnya dianugerahi berbagai penghargaan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Beberapa penghargaan yang pernah didapatkan Nh. Dini antara lain juara 1 lomba mengarang cerita pendek dalam bahasa Perancis yang diselenggarakan Le Monde dan Radio France Internationale (1987), penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand (2003), dan Hadiah Francophonie (2008).

Selain itu, Nh. Dini juga menerima Penghargaan Sepanjang Masa (Lifetime Achievement Award) pada malam pembukaan Ubud Writers and Readers Festival 2017 lalu.

 

Dewi Lestari

Dewi Lestari merupakan penulis terkemuka Indonesia yang karyanya seringkali menjadi best seller. Dengan menggunakan nama pena 'Dee', perempuan kelahiran Bandung 20 Januari 1976 itu, pertama kali meluncurkan novel pada 2001 lalu, berjudul Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh. Novel tersebut menjadi bagian dari suatu serial yang mengulas penelusuran terhadap spiritual dan sains.

Supernova berhasil masuk dalam Top 5 Khatulistiwa Literaly Award 2001, bersanding dengan karya-karya sastrawan kenamaan lain. Novel tersebut juga sukses menembus pasar internasional hingga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Tidak hanya Supernova, beberapa karya Dewi Lestari lainnya juga sangat populer, bahkan hingga diangkat ke layar lebar, diantaranya Perahu Kertas, Filosofi Kopi, Rectoverso, dan Madre. Sampai saat ini Dewi Lestari tercatat telah menulis lebih dari 12 judul buku.

 

Leila S. Chudori

Nama Lelia Salikha Chudori sudah tidak asing lagi di dunia sastra Tanah Air. Penulis yang juga merupakan wartawan majalah Tempo itu telah melahirkan berbagai karya populer hingga dianugerahi penghargaan dari dalam maupun luar negeri.

Bakat menulis Leila nyatanya telah ia asah sejak usia sekolah dasar. Saat kelas 5 SD, ia menulis cerpen pertamanya "Pesan Sebatang Pohon Pisang" yang kemudian dimuat di majalah anak-anak, Si Kuncung (1973).

Sejak saat itu, perempuan kelahiran 12 Desember 1962 silam itu secara produktif melahirkan berbagai karya, seperti 9 dari Nadira (2009) yang diganjar penghargaan sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa serta buku kumpulan cerpen Malam Terakhir yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman (Die Letzte Nacht).

Terbaru pada 2020 lalu, Leila berhasil menyabet penghargaan South East Asia Write Award atas novelnya, Laut Bercerita.

 

Ayu Utami

Justina Ayu Utami dikenal sebagai penulis yang lantang menyuarakan isu tentang perempuan. Dilahirkan di Bogor pada 21 November 1968 silam, Ayu memulai karir sebagai penulis kala ia menekuni dunia jurnalistik. Saat itu Ayu aktif menulis kolom mingguan Sketsa di Harian Berita Buana dan turu mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Adapun novel pertama yang ditulis Ayu adalah Saman (1998). Saman berhasil menyedot banyak perhatian pembaca dan kritikus sastra. Karya ini pun dianggap sebagai novel pembaharu dalam dunia sastra Indonesia.

Berkat novel Saman, Ayu berhasil memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Karya-karya lainnya seperti Larung (2001), Si Parasit Lajang (2003), Anatomi Rasa (2019) juga mengantarkan Ayu mendapat penghargaan, bahkan sampai tingkat internasional. Penghargaan tersebut antara lain, Khatulistiwa Literary Award (2008), Majelis Sastra Asia Tenggara (2008), Prince Claus Award (2000), dan masih banyak lagi.

 

Djenar Maesa Ayu

Djenar Maesa Ayu merupakan salah satu penulis perempuan berbakat yang dimiliki Indonesia. Perempuan yang akrab disapa Nay itu lahir di Jakarta pada 14 Februari 1973. Ia dikenal dengan karya-karya yang mengangkat tema perempuan dan seksualitas.

Adapun karya pertama Nay adalah cerpen bertema feminisme, Lintah (2002), yang terbit di Kompas. Sementara buku pertamanya adalah kumpulan cerpen berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! (2004), yang kemudian cukup populer. Buku tersebut telah dicetak ulang delapan kali dan masuk dalam sepuluh buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003. Selai itu, Mereka Bilan, Saya Monyet! juga telah diterbitkan ke dalam bahasa Inggris.

Tak hanya itu, kumpulan cerpen bertajuk Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) juga mendapat penghargaan lima besar Khatulistiwa Literary Award tahun 2004. Di samping itu, cerpen Menyusu Ayab karya Nay menjadi cerpen terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan. Cerpen tersebut juga diterjemahkan oleh Richard Oh ke dalam bahasa Inggris dengan judul Suckling Father dan dimuat dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris khusus edisi karya terbaik.

Itu dia lima penulis perempuan Indonesia yang berhasil melahirkan karya-karya luar biasa hingga diakui dunia internasional. Semoga bisa menginspirasimu untuk terus berkarya di bidang apapun.

Kembali ke blog